Morowali- Polemik terkait Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) PT. Baoshuo Taman Industry Investment Group (PT. BTIIG) perusahaan yang beroperasi di wilayah Topogaro, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah belum berakhir dan semakin memanas setelah isu bahwa bangunan perusahaan tersebut telah berdiri dan beroperasi tanpa PBG, dan klaim PT. BTIIG yang tinggal menunggu billing dipertanyakan. Dugaan bahwa tiga Kepala Desa lingkar industri Topogaro, Ambunu, dan Tondo baru saja menyetujui rekomendasi permohonan izin PBG menambah sorotan tajam terhadap perusahaan tersebut beberapa hari lalu.
Seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya menyampaikan Kepada Pihak Media pada Kamis, 9 Januari 2025, bahawa bangunan PT. BTIIG diketahui sudah lama beroperasi, bahkan sebelum izin PBG diterbitkan. Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana perusahaan bisa beroperasi tanpa melengkapi izin yang menjadi syarat utama dalam pembangunan gedung. Secara hukum, setiap bangunan yang akan digunakan untuk kepentingan operasional industri wajib memiliki PBG yang sah sebagai bentuk persetujuan pemerintah atas kelayakan bangunan tersebut.
“Ini jelas melanggar aturan. Bagaimana mungkin bangunan sudah beroperasi, sementara izin baru dimohonkan? Ini bukan hanya persoalan administratif, tapi juga menyangkut integritas sistem perizinan di daerah ini,” ungkapnya.
Pada Rabu, 18 Desember 2024 yang lalu Rustam Sabalio, S. T, M.T Kepala Dinas PUPR menyatakan bahwa proses penerbitan PBG membutuhkan sejumlah dokumen yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan. “Kendala utama kami adalah pada dokumen yang harus dilampirkan oleh pemohon. Sampai saat ini, PT. BTIIG belum melakukan permohonan untuk PBG ,” ujarnya pada pihak media.
Berbanding terbalik dengan klaim Riki External PT. BTIIG pada 19 Desember 2024 bahwa, keterlambatan pembayaran retribusi disebabkan belum diterbitkannya billing oleh platform PUPR yang mengalami pembaruan versi pada 5 Desember 2024. Namun, klaim ini dinilai kurang relevan karena klaimnya pengajuan PBG baru dilakukan pada Juli 2024, jauh setelah gedung-gedung tersebut dibangun.
Berkaitan dengan kalaim PT. BTIIG Kepala Dinas PUPR menjelaskan kepada pihak media pada selasa 31 Desember 2024 bahwa “Proses penerbitan billing baru dapat dilakukan setelah peninjauan lapangan oleh tim penilik. Sedangkan penilik belum melakukan pengawasan dan inspeksi penyelenggaraan bangunan gedung. Peninjauan ini penting untuk memastikan kondisi bangunan sesuai dengan aturan teknis dan tata ruang. Jadi, jika belum ada peninjauan, billing juga tidak dapat diterbitkan,” jelas Kepala Dinas PUPR
Isu yang ada hari ini menjelaskan bahwa beberapa hari lalu, tiga Kepala Desa lingkar industri PT. BTIIG mendapat pengajuan rekomendasi untuk permohonan izin PBG dari PT. BTIIG. Pengajuan rekomendasi ini menandai langkah awal dalam proses administratif pengajuan izin, namun juga memunculkan pertanyaan besar tentang mengapa langkah ini baru dilakukan setelah bangunan sudah lama beroperasi.
“Seharusnya, rekomendasi desa ini menjadi bagian dari proses awal sebelum bangunan didirikan, bukan dikeluarkan setelah bangunan sudah digunakan,” tegas narasumber tersebut.
Kondisi ini memunculkan spekulasi tentang adanya kelalaian atau bahkan upaya untuk mengabaikan prosedur yang seharusnya dijalankan. Pengakuan PT. BTIIG sebelumnya yang menyatakan bahwa mereka telah mengajukan izin sejak Juli 2024 kini semakin diragukan, mengingat rekomendasi desa baru ditantangani beberapa hari terakhir.
“Jika izin memang diajukan sejak lama, mengapa baru sekarang rekomendasi dari desa dikeluarkan? Ini menunjukkan ketidaktransparanan yang perlu diusut lebih jauh,” tambahnya.
Ketidakpatuhan terhadap prosedur perizinan seperti ini berpotensi merugikan daerah, terutama jika retribusi PBG tidak segera dibayarkan. Selain itu, operasional bangunan tanpa izin yang sah juga melanggar peraturan yang berlaku dan bisa memberikan preseden buruk.
Ketika dikonfirmasi pada hari ini mengenai tudingan ini, Riki, pihak eksternal PT. BTIIG, enggan memberikan tanggapan yang jelas. Ia hanya menyatakan, “Saya tidak tahu juga siapa yang menduga itu. Coba tanya orangnya. Tanya sama yang menuding.” Sikap ini semakin memperburuk dugaan adanya upaya penghindaran dari pihak perusahaan terhadap pertanyaan seputar kelancaran proses perizinan.
Pihak media juga berusaha mengkonfirmasi Kepala Dinas PUPR melalui telepon, nomor yang bersangkutan tidak aktif, sehingga tidak ada tanggapan resmi yang diberikan terkait polemik ini. Hal serupa terjadi ketika media mencoba menghubungi Kepala Desa Topogaro; meskipun nomor aktif, tidak ada respon atas pertanyaan yang diajukan.
Kepala Desa Tondo, yang baru menjabat, memberikan keterangan singkat kepada media. “Karena saya baru menjabat, saya tidak mengetahui hal itu. Tapi selama saya menjabat, belum pernah ada permohonan rekomendasi PBG dari PT. BTIIG,” ungkapnya. Jawaban ini semakin menambah keraguan publik terhadap klaim perusahaan yang menyatakan telah mengajukan izin.
Sementara itu, upaya menghubungi Kepala Desa Ambunu juga tidak berhasil. Beberapa kontak yang dicoba oleh pihak media tidak aktif, sehingga belum ada tanggapan dari yang bersangkutan hingga berita ini diterbitkan.
Publik kini mendesak PT. BTIIG untuk memberikan klarifikasi yang lebih transparan terkait alasan di balik operasional bangunan mereka sebelum izin PBG diterbitkan. Selain itu, pihak Dinas PUPR dan pemerintah desa juga diharapkan untuk memberikan penjelasan mengenai proses administrasi yang terjadi, termasuk alasan mengapa rekomendasi desa baru diberikan saat bangunan sudah lama beroperasi.
Jika tidak segera ditangani, persoalan ini tidak hanya akan merugikan daerah secara finansial, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem perizinan di wilayah tersebut. (Wiwi/tim)