Morowali- Ketegangan sosial akibat aktivitas industri tambang dan smelter milik PT Hengjaya Mineralindo di Kecamatan Bahodopi dan sekitarnya semakin memanas. Himpunan Mahasiswa Pemuda Pelajar Kecamatan Bahodopi – Sulawesi Tenggara (HIMP2KAB–Sultra) menyatakan sikap tegas, menuntut pemerintah daerah segera turun tangan menyelesaikan berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkan.(08/10/2025)
Dalam pernyataannya, HIMP2KAB–Sultra menilai dampak negatif aktivitas perusahaan telah meresahkan masyarakat, diperparah oleh lemahnya pengawasan dan koordinasi pemerintah Kabupaten Morowali terhadap operasional perusahaan tersebut. “Pemerintah daerah belum memiliki langkah tegas dan sistematis dalam menangani konflik antara masyarakat dan perusahaan. Ketidakhadiran kebijakan nyata membuat masyarakat merasa terpinggirkan di tanah mereka sendiri,” tegas perwakilan HIMP2KAB–Sultra.
Persoalan dari empat desa terdampak — Bete-bete dan Padabaho di Kecamatan Bahodopi, serta Lafeu dan Tandaolelo di Kecamatan Bungku Pesisir — telah diterima langsung oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid. Laporan masyarakat ini juga akan ditindaklanjuti oleh Ketua Penanganan Konflik Agraria Sulawesi Tengah, Eva Bande. HIMP2KAB–Sultra mengapresiasi respon cepat pemerintah provinsi, namun menilai pemerintah kabupaten tidak boleh berdiam diri. “Pemerintah Kabupaten Morowali harus segera turun tangan dan mengambil langkah konkret. Jangan hanya menjadi penonton di tengah benturan kepentingan antara masyarakat dan perusahaan,” ujar mereka.
HIMP2KAB–Sultra juga menyoroti kebijakan yang tumpang tindih serta lemahnya pengawasan terhadap aktivitas tambang dan smelter PT Hengjaya Mineralindo. Akibatnya, masyarakat mengalami berbagai kerugian seperti kerusakan lingkungan, hilangnya sumber penghidupan tradisional, kesenjangan ekonomi yang makin melebar, serta ketidakpastian hukum yang memperburuk keadaan. Ketua Umum HIMP2KAB–Sultra menegaskan bahwa investasi seharusnya membawa manfaat nyata bagi masyarakat lokal, bukan memperdalam ketimpangan. “Investasi harus membuka lapangan kerja, memberdayakan masyarakat, dan menghormati hak atas tanah serta lingkungan. Jika justru memiskinkan rakyat di tanahnya sendiri, itu bentuk penjajahan ekonomi modern,” tegasnya.
Mereka mengingatkan bahwa konflik industri ini bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga masalah hak kemanusiaan. Banyak warga kehilangan tanah, hak tanam tumbuh, pekerjaan, dan ruang hidup. Generasi muda pun kehilangan harapan akibat kebijakan yang dianggap tidak berpihak. Jika dibiarkan, situasi ini berpotensi meningkatkan ketegangan sosial dan mengancam stabilitas daerah.
Di akhir pernyataannya, HIMP2KAB – Sultra menyerukan agar pemerintah provinsi dan kabupaten segera turun ke lapangan bersama masyarakat terdampak untuk mencari solusi nyata. “Kesejahteraan masyarakat lokal adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan ekonomi sebesar apa pun,” tegas mereka. Organisasi ini juga menegaskan komitmennya untuk terus mengawal persoalan ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan.
(Yohanes)