Scroll untuk baca artikel
Example 728x250
Opini

Metafisika “Tali Asih”: Ketika Rp4 Miliar Membeli “Cinta” di Atas Aset Negara

63
×

Metafisika “Tali Asih”: Ketika Rp4 Miliar Membeli “Cinta” di Atas Aset Negara

Sebarkan artikel ini

Oleh: Anak Lorong Pasar Bente

Morowali, SulawesiTengah— Dalam kamus besar bahasa manusia, “tali asih” adalah terminologi yang romantis. Ia bermakna ikatan kasih sayang, sebuah pemberian tulus tanpa pamrih. Namun, di Ambunu, Morowali, makna bahasa telah mengalami dekonstruksi total. Di sana, “tali asih” memiliki harga pasti: Rp4 Miliar. Dan ia tidak jatuh dari langit karena cinta, melainkan turun karena sebuah jalan tani diblokade.

Peristiwa penyerahan dana dari PT BTIIG kepada kelompok yang menamakan diri “Forbes Ambunu” pada 24 November lalu bukan sekadar berita ekonomi atau politik. Ini adalah sebuah panggung teater absurditas.

Ironi Kepemilikan: Negara yang “Gaib”

Mari kita bicara tentang konsep “Kepemilikan”. Dinas Pekerjaan Umum (PU) mengatakan jalan tani itu aset daerah. Artinya, jalan itu milik publik, dibiayai oleh keringat pajak rakyat, dan diatur oleh undang-undang negara.

Ironinya, di Ambunu, negara mendadak menjadi entitas yang “gaib”. Asetnya nyata, tapi otoritasnya sirna.

Bagaimana mungkin sebuah aset publik (res publica) disewakan—maaf, diberi “tali asih”—kepada sebuah entitas privat (kelompok masyarakat) yang bahkan legalitas hukumnya masih diperdebatkan? Ini adalah sebuah paradoks hukum: Negara yang membangun, Ormas yang memetik hasil.

Jika logika ini dibenarkan, maka kita sedang menyaksikan runtuhnya konsep “Kontrak Sosial” yang digagas Jean-Jacques Rousseau. Negara tidak lagi menjadi pengatur tunggal atas asetnya sendiri, melainkan tunduk pada siapa yang paling keras berteriak dan paling efektif memalang jalan.

Eufemisme Suap atau Keadilan Parsial?

Filsuf Slavoj Žižek sering bicara tentang bagaimana bahasa digunakan untuk menutupi realitas yang kasar. Sebutan “Tali Asih” adalah eufemisme jenius untuk menghindari kata “Sewa” atau “Kompensasi”. Kenapa harus dihindari? Karena jika disebut “Sewa Aset”, uangnya wajib masuk Kas Daerah (PAD). Jika disebut “Kompensasi Dampak”, maka 10 desa lingkar tambang lainnya akan menuntut hak yang sama.

Maka, lahirlah “Tali Asih”—sebuah zona abu-abu di mana aturan keuangan negara tidak berlaku.

Di sinilah letak ketidakadilan filosofisnya. Mengapa desa lain yang sama-sama menghirup debu industri tidak mendapat “cinta” senilai miliaran? Jawabannya brutal: *Karena mereka tidak memegang sandera.* Ini mengajarkan preseden moral yang berbahaya: bahwa dalam ekosistem industri ini, keuntungan bukan didapat dari kepatuhan pada hukum, melainkan dari kemampuan melakukan tekanan massa.

Menolak Menjadi Penonton Pasif

Lantas, apakah kita hanya akan duduk diam menikmati satir ini sambil menyeruput kopi? Tentu tidak. Sinisme tanpa aksi adalah kesia-siaan.

Kasus Ambunu harus menjadi Alarm bangun tidur bagi Pemerintah Daerah Morowali. Kita tidak bisa membiarkan tata kelola daerah berjalan dengan mekanisme “hukum rimba” berbalut kearifan lokal semu.

Sikap Pro-Aktif yang Harus Diambil:

1. Kembalikan Marwah Negara: Pemda harus berhenti bersikap “malu-malu kucing”. Nyatakan status hukum aset tersebut secara terbuka. Jika itu aset daerah, ambil alih pengelolaannya. Pastikan setiap rupiah yang dihasilkan dari aset itu masuk ke PAD untuk pembangunan yang merata, bukan dinikmati segelintir elite desa.
2. Transparansi Radikal: PT BTIIG dan Pemerintah Desa harus membuka “kotak pandora” ini. Publik berhak tahu: apa isi perjanjian di balik Rp 4 Miliar itu? Jangan biarkan dana publik dikelola di ruang gelap tanpa akuntabilitas.
3. Institusionalisasi Konflik: Jangan biarkan “Forbes” atau kelompok ad-hoc lainnya mengambil alih peran negara. Kanalisasi aspirasi warga melalui lembaga resmi (BPD, Perusda) agar memiliki kekuatan hukum dan audit yang jelas.

Kita tidak membenci masyarakat Ambunu mendapatkan kesejahteraan. Kita mencintai keadilan. Tapi kesejahteraan yang dibangun di atas fondasi pelanggaran regulasi dan pengabaian hak publik yang lebih luas, hanyalah bom waktu.

Rp 4 Miliar mungkin bisa membeli “damai” sesaat di jalan tani, tapi ia tidak boleh dibiarkan membeli kewarasan logika bernegara kita.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250 Example 728x250 Example 728x250