Scroll untuk baca artikel
Example 728x250
Opini

Mencari Titik Temu di Sungai Karaupa

24
×

Mencari Titik Temu di Sungai Karaupa

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ramadhan Annas

 

 

Sulawesi Tengah- Polemik antara PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG) dan petani di Kecamatan Bumi Raya serta Wita Ponda terkait rencana pembangunan intake air Sungai Karaupa menjadi refleksi penting tentang bagaimana pembangunan industri dan kepentingan petani bisa berjalan berdampingan.

BTIIG, sebagai bagian dari ekosistem industri strategis nasional, membutuhkan pasokan air yang andal untuk mendukung operasional kawasan smelter. Di sisi lain, ribuan petani menggantungkan hidup mereka pada sumber air yang sama, yang mengairi lebih dari 2.500 hektare sawah.

Kekhawatiran petani tentu bukan tanpa dasar. Debit air Sungai Karaupa cenderung turun drastis di musim kemarau, dan setiap potensi pengurangan—terutama jika pengambilan dilakukan di titik yang sama atau di atas saluran irigasi—berisiko mengganggu ketahanan pangan lokal. Namun, bukan berarti industri harus dikorbankan.

Kebutuhan akan Keseimbangan

Di sinilah letak pentingnya keseimbangan. Kebutuhan air industri tidak bisa dipandang sebagai ancaman semata, apalagi ketika kawasan industri juga menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja, dan memberi efek berganda pada wilayah sekitarnya.

Begitu pula kebutuhan petani terhadap air tidak bisa dikesampingkan hanya karena dianggap “tradisional” atau “non-produktif”. Justru keberlangsungan pertanian lokal menjadi kunci kestabilan sosial dan ekonomi jangka panjang.

Saling curiga hanya akan memperdalam jurang. Yang dibutuhkan hari ini adalah pendekatan kolaboratif yang mengedepankan data, keterbukaan, dan itikad baik dari semua pihak.

Solusi Teknis dan Sosial

Salah satu usulan yang patut dikaji lebih lanjut adalah memindahkan titik pengambilan air industri ke bawah intake irigasi, pada jarak ±500–700 meter. Hal ini dapat menjamin saluran irigasi utama tetap mendapat pasokan terlebih dahulu, baru kemudian dimanfaatkan oleh industri.

Namun, solusi ini tentu harus didukung kajian teknis dan finansial menyeluruh agar tidak menjadi beban yang tidak realistis bagi BTIIG. Diperlukan audit independen terhadap debit air, termasuk simulasi dampak musim kering, agar keputusan bisa diambil berdasarkan data, bukan asumsi.

Di luar aspek teknis, ada pula ruang untuk memperkuat kepercayaan sosial. Misalnya, BTIIG dapat menginisiasi program pengolahan air bersih untuk desa-desa di sekitar kawasan industri. Ini bukan sekadar bentuk kompensasi, tetapi upaya membangun kemitraan produktif antara industri dan masyarakat.

Ketika desa-desa di sekitar kawasan industri mulai merasakan manfaat nyata dari kehadiran industri, relasi antara perusahaan dan warga bisa berubah: dari konflik menjadi kolaborasi.

Transparansi dan Tata Kelola Bersama

Penting juga dibentuk forum pemantauan bersama—yang terdiri dari BTIIG, perwakilan petani, pemerintah daerah, dan pihak independen—untuk mengawasi pengambilan dan distribusi air sungai secara berkala.

Langkah ini akan memperkuat rasa kepemilikan bersama atas sumber daya air, dan mengurangi potensi konflik karena kecurigaan. Ke depan, pendekatan seperti ini juga bisa menjadi model tata kelola industri dan pertanian di daerah lain.

Menyatukan Kepentingan, Bukan Mengorbankan

Industri yang baik bukanlah yang hanya patuh pada regulasi, tetapi juga responsif terhadap lingkungan sosialnya. Demikian pula, perjuangan petani akan lebih kuat jika mampu merangkul logika pembangunan yang inklusif.

Polemik Sungai Karaupa tidak harus berakhir dengan saling menggugat. Jika kedua belah pihak mau membuka ruang dialog yang jujur dan berbasis data, maka air dari Karaupa bisa mengalir bukan hanya untuk sawah atau smelter, tetapi juga untuk kepercayaan dan kemajuan bersama.

Ramadhan Annas
Forum Ambunu Bersatu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250 Example 728x250 Example 728x250