Jakarta – Kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali mencuat ke permukaan setelah 11 jurnalis mengalami tindak kekerasan saat meliput demonstrasi di gedung DPR/MPR. Insiden tersebut mengundang kecaman dari berbagai pihak, termasuk Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI).
Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, menyatakan keprihatinannya atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum anggota Polri terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugas peliputan. “PPWI sangat menyayangkan kejadian itu dan mengutuk keras tindakan main pukul yang dilakukan para oknum anggota Polri tersebut,” ujar Wilson, Senin(26/08/2024)
Menurutnya, aparat dan jurnalis seharusnya dapat bekerja sama di lapangan untuk memastikan informasi yang akurat dan berimbang tersampaikan kepada publik. Kekerasan terhadap jurnalis, lanjut Wilson, bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mencederai perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelecehan terhadap perundang-undangan. Dalam UUD kita, terdapat Pasal 28F yang secara jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mencari, mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan mempublikasikan informasi menggunakan semua bentuk media yang tersedia,” tegasnya.
Wilson mendesak agar segera dilakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap oknum polisi yang terlibat dalam kekerasan ini. “Kapolri harus menindak tegas anggota dan satuannya yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Mereka harus dibina agar paham peraturan perundangan. Jika tidak bisa dibina, sebaiknya dipecat saja,” lanjutnya.
Ia juga memberikan semangat kepada para jurnalis agar tidak gentar dalam melaksanakan tugas mereka. “Kepada rekan-rekan media, jangan kendor, terus semangat, jangan jadi takut hanya karena intimidasi dan kekerasan yang dialami di lapangan. Melaksanakan amanat UU Pers bukanlah pekerjaan mudah. Tantangan dan risikonya berat, bahkan taruhan nyawa,” katanya.
Wilson menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa jurnalis menghadapi tiga risiko besar saat bertugas: penjara, rumah sakit, dan peti mati. Ia mengimbau agar para jurnalis selalu mengutamakan keselamatan saat bekerja.
“Jurnalis sejati akan diperhadapkan kepada tiga resiko saja: penjara, rumah sakit, dan peti mati. Oleh karena itu, saat turun liputan, pakailah prinsip para pekerja konstruksi bangunan: utamakan keselamatan dalam bekerja, anak-istri menunggu di rumah,” pungkasnya.
Insiden kekerasan ini menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia dan menimbulkan kekhawatiran atas kebebasan pers di negeri ini. Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk reformasi dalam penanganan aparat terhadap jurnalis di lapangan. (Tim/*)