Makassar — Ikatan Mahasiswa Sulawesi Tengah (IMA SULTENG) Makassar melayangkan kritik keras terhadap Pemerintah Pusat terkait formulasi Dana Bagi Hasil (DBH) sektor pertambangan yang dinilai sangat tidak adil dan merugikan daerah.
Sorotan tajam ini muncul di tengah masifnya hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah yang menjadikan provinsi tersebut sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara. Namun, menurut IMA SULTENG, kekayaan itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil.
Ketua IMA SULTENG Makassar, Muhammad Afdhal Saputra, menegaskan bahwa Sulawesi Tengah kini menanggung beban ganda: kerusakan lingkungan dan kemiskinan fiskal. “Sulawesi Tengah yang dikenal dengan hilirisasi industrinya bukanlah berita baik, tetapi justru menjadi bencana bagi masyarakat,” tegas Afdhal, Kamis (31/10/2025).
Ia mengungkapkan, Sulawesi Tengah menyumbangkan hingga Rp570 triliun devisa per tahun ke pusat dari aktivitas hilirisasi, sementara dana yang dikembalikan melalui DBH hanya sekitar Rp200 miliar. “Perbandingan ini sangat tidak sebanding dengan dampak yang ditinggalkan. Formulasi DBH dari pusat ke daerah sangat tidak ideal,” ujarnya.
Menurut Afdhal, ketimpangan tersebut menjadi penyebab utama lambatnya pembangunan dan buruknya kesejahteraan masyarakat di Sulawesi Tengah. Ia mendesak Pemerintah Pusat segera mengubah regulasi DBH agar lebih adil bagi daerah penghasil.
IMA SULTENG Makassar juga meminta DPR RI, khususnya Ketua Komisi II dan Badan Anggaran (Banggar), untuk segera menggelar rapat paripurna bersama Pemerintah Pusat guna membahas ulang formula DBH pertambangan.
“Investasi hilirisasi harus benar-benar membawa manfaat bagi rakyat Sulawesi Tengah, bukan hanya menguntungkan korporasi dan pusat,” tegasnya.
Kritik ini sejalan dengan pernyataan Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, yang sebelumnya di hadapan DPR RI menyebut bahwa ketimpangan DBH pertambangan telah merugikan daerah secara besar-besaran dan membuat kondisi daerah “hancur-hancuran”.
(Yohanes)















