Oleh: Muhajir A. Salasah
Sulawesi Tengah – Forum Mahasiswa Peduli Sulawesi Tengah (FMPST) menyuarakan penolakan tegas terhadap ekspansi investasi perkebunan sawit di wilayah Sulawesi Tengah. Penolakan ini, menurut FMPST, merupakan bentuk tanggung jawab moral dan sosial dalam menjaga kelestarian lingkungan, keadilan sosial, serta masa depan ruang hidup masyarakat lokal.
Dalam dua tahun terakhir, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mencatat sedikitnya 48 konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan, mayoritas terkait lahan perkebunan berskala besar. Sejumlah perusahaan sawit diduga beroperasi di kawasan hutan lindung atau bahkan di wilayah suaka margasatwa. Salah satunya adalah PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) di Kabupaten Banggai yang tengah diselidiki terkait dugaan pelanggaran izin dan lokasi operasional.
Selain itu, persoalan tumpang-tindih lahan juga masih menjadi sorotan. Seperti kasus PT Agro Nusa Abadi (PT ANA) di Morowali Utara, yang telah memiliki izin usaha perkebunan (IUP) namun belum mengantongi hak guna usaha (HGU) karena lahan belum berstatus clear and clean. Pemerintah Provinsi Sulteng bahkan telah memerintahkan perusahaan untuk melepaskan sebagian lahan seluas 941 hektar, yang meliputi Desa Bungintimbe (659 hektar) dan Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur (282 hektar).
Masyarakat di wilayah tersebut, terutama petani lokal dan pengelola lahan tradisional, masih harus memperjuangkan hak mereka atas lahan plasma yang belum direalisasikan. Minimnya transparansi perusahaan dan lemahnya perlindungan terhadap masyarakat membuat situasi semakin rumit.
Menanggapi kondisi tersebut, FMPST menegaskan bahwa kehadiran perusahaan sawit bukan solusi pembangunan, melainkan ancaman baru terhadap keberlanjutan sumber daya alam dan ruang hidup masyarakat adat, petani, serta nelayan.
“Kami menilai investasi sawit di Sulteng justru memperbesar potensi kerusakan lingkungan dan memperdalam ketimpangan sosial,” tegas pernyataan resmi FMPST, Sabtu(01/11/2025)
FMPST mendesak Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah untuk mengambil langkah konkret dengan:
1. Menolak dan mencabut izin prinsip maupun izin lokasi yang telah diberikan kepada perusahaan sawit di wilayah dengan kerentanan ekologis dan sosial tinggi.
2. Memperkuat perlindungan hukum terhadap masyarakat adat dan petani lokal dari ancaman perampasan lahan oleh korporasi.
Forum ini juga mengingatkan bahwa arah pembangunan sejati bukanlah yang mengorbankan manusia dan alam demi pertumbuhan ekonomi semata.
“Pembangunan sejati adalah yang menempatkan manusia dan alam sebagai pusat kesejahteraan bersama,” tutup pernyataan FMPST.
(Yohanes)















